Kategori: Uncategorized

  • GUDEG KHAS JOGJA YANG SANGAT TERKENAL

    GUDEG KHAS JOGJA YANG SANGAT TERKENAL

    Gudeg (bahasa Jawa: Guděg) adalah hidangan khas Daerah Istimewa Yogyakarta yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan.

    Perlu waktu berjam-jam untuk membuat hidangan . Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak bersamaan. biasanya dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tempe, tahu, dan sambal goreng krecek.

    sangat populer di Jawa, hidangan ini merupakan hidangan populer baik sebagai masakan rumahan maupun hidangan jalanan. juga diproduksi secara industri sebagai makanan kaleng. juga bisa ditemui di luar Indonesia, khususnya di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

    Asal-usul

    Gudeg dibuat dari buah nangka yang tumbuh di banyak pulau di Indonesia, khususnya di Jawa, dan merupakan tanaman pangan yang cukup penting. Sejumlah besar rempah-rempah dan bumbu tertentu digunakan dalam proses perebusan, rempah ini juga meningkatkan masa simpan 

    Di Jawa Tengah, ada legenda yang mengaitkan asal-usul dengan berdirinya Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-16. Dikisahkan bahwa pada saat itu pejuang yang membuka hutan untuk pembangunan ibu kota negara baru di wilayah Yogyakarta saat ini tidak mendapat pasokan makanan yang memadai. Sementara itu hanya pohon nangka dan kelapa yang tumbuh subur di hutan tersebut. Saat masih muda buah nangka keras, dan tidak dapat dimakan mentah, mereka pun merebus buah nangka muda dalam santan dalam panci logam besar dan mengaduknya dengan papan kayu. Proses memasak seperti ini dalam bahasa jawa sehari-hari disebut hangudêk (jw. Ngudek)—”mengaduk”. Dari kata inilah menurut legenda, menjadi asal mula nama makanan yang ditemukan oleh prajurit Mataram tersebut, “”

    Proses pembuatan

    dibuat dari daging buah nangka yang masih mentah. Berbeda dengan daging buah nangka matang, yang lembut, kuning cerah, berminyak, dan rasanya sangat manis, nangka mentah memiliki konsistensi padat dan agak kering, bergetah, berwarna keputihan atau krem ringan, dan tidak bisa dimakan mentah. Setelah kulitnya dikupas, nangka muda dipotong kecil-kecil dan direbus terlebih dahulu dalam air mendidih sampai lunak. Setelah itu, potongan nangka dituangkan dengan santan—sering dicampur dengan air kelapa, dibumbui dengan bumbu tertentu dan direbus lama—biasanya selama 4–6 jam

    Warna dihasilkan terutama oleh bumbu rempah-rempah yang digunakan. Rempah-rempah ini juga memberikan cita rasa utama rasa , karena daging mentah nangka muda sebenarnya tidak memiliki rasa khusus. hadir dalam berbagai warna, mulai dari hampir putih atau krem muda hingga merah tua atau cokelat. Variasi warna hidangan hidangan ini menjadi julukan jenis gudeg tersebut, gudeg putih dan gudeg merah. Variasi putih disiapkan dengan rempah-rempah yang tidak terlalu mengubah warna produk asli: lumbang, ketumbar, lengkuas, jahe, bawang merah, bawang putih, lada hitam. Pada gudeg merah, rempah-rempah dan bumbu lain ditambahkan selain bumbu di atas, yang memberi warna lebih gelap pada bubur nangka yang dihasilkan. Pewarna merah biasanya dari daun jati dan Moringa oleifera, biasanya juga ditambahkan terasi, yang memberi nuansa warna merah-kecoklatan. Selain itu, di Indonesia modern, teh celup terkadang dimasukkan ke dalam hidangan selama proses perebusan untuk memberikan warna gelap dan rasa asam yang lebih pekat pada gudeg. Teh ini kemudian diangkat sesudah hidangan matang. Dalam semua jenis gudeg—baik gudeg kering dan basah, atau gudeg merah dan putih—biasanya ditambahkan gula aren, sebagai pemanis. Rasa manis inilah yang menjadi cita rasa khas 

    Penyajian

    Jika disajikan sendiri, dapat dianggap sebagai makanan vegetarian, karena hanya terdiri dari nangka mentah dan santan. Namun, biasanya disajikan dengan telur atau daging ayam. Gudeg sering kali disajikan dengan nasi putih dan ayam, baik opor ayam atau ayam goreng, telur pindang, opor telur atau telur rebus biasa, tahu dan/atau tempe, serta sambal goreng krecek (rebusan yang terbuat dari kulit sapi renyah).

    Gudeg dapat dikemas ke dalam besek (kotak yang terbuat dari bambu) atau kendi (guci tanah liat), atau kalengan. kalengan bisa bertahan hingga satu tahun, meski rasanya tidak sebagus yang baru dimasak.

    Warung dan restoran yang menyajikan dapat ditemukan di seluruh kota di Indonesia, seperti Jabodetabek. Gudeg adalah hidangan populer di restoran Jawa, dan dapat ditemukan di negara tetangga, seperti Singapura

    Varian

    Ada beberapa jenis gudeg; kering, basah, gaya Yogyakarta, gaya Solo, dan gaya Jawa Timur. kering hanya memiliki sedikit santan dan memiliki sedikit kuah.  basah mengandung lebih banyak santan. Gudeg yang paling umum berasal dari Yogyakarta, dan biasanya lebih manis, lebih kering, dan berwarna kemerahan karena penambahan daun jati sebagai pewarna. Gudeg solo dari kota Surakarta lebih berair dan berkuah, banyak santan, dan berwarna keputihan karena umumnya tidak ditambahkan daun jati. Yogyakarta biasa disebut “gudeg merah”, sedangkan gudeg Solo disebut juga “gudeg putih”. Gudeg gaya Jawa Timur memiliki rasa yang lebih pedas dibandingkan dengan gudeg gaya Yogyakarta yang lebih manis.

    Gudeg secara tradisional diasosiasikan dengan Yogyakarta, dan Yogyakarta terkadang dijuluki “Kota ” (kota gudeg). Pusat restoran Yogyakarta berada di kawasan Wijilan sebelah timur Kraton Yogyakarta.

    Seperti halnya banyak masakan Indonesia lainnya, berbagai jenis secara tradisional dianggap sebagai kuliner khas kota atau daerah tertentu dan dijuluki dengan nama “geografis” masing-masing. Oleh karena itu, gudeg merah sering disebut gudeg “Yogyakarta”, dan gudeg putih disebut gudeg “Surakarta”, sesuai dengan nama kota asalnya di Jawa Tengah tersebut.

    Penjualan

    Di Jawa, gudeg merupakan hidangan populer di rumah, restoran, dan jajanan kaki lima. disajikan dalam industri katering dari semua tingkatan, dari restoran, warung makan, hingga gerobak pedagang kaki lima, atau menggunakan mobil khusus untuk berjualan. Di warung-warung dan toko-toko tradisional, kotak kardus atau keranjang kecil yang dianyam dari bambu sering digunakan sebagai wadah hidangan 

    Salah satu daya tarik Yogyakarta adalah Jalan Wijilan, yang terletak di bagian tengah kota di sekitar Keraton Yogyakarta, dipenuhi dengan puluhan restoran dan toko yang mengkhususkan diri menjual , banyak di antaranya buka 24 jam. Banyak pecinta atau wisatawan kuliner datang ke sini setiap hari.  juga didistribusikan dari sini ke daerah atau kota di sekitarnya. Beberapa restoran  lokal ini telah berdiri lebih dari enam puluh tahun dan terkenal hingga di luar kota Yogyakarta.

    Sejak tahun 1920-an, industri makanan Indonesia telah memproduksi makanan kaleng siap saji. juga kadang dijual sebagai makanan kalengan, kaleng ini biasanya berisi matang atau setengah matang yang dilengkapi dengan bumbu dan rempahnya. Namun, ada pula kaleng yang hanya berupa rebusan daging nangka cincang dan harus dimasak sendiri.

    Resep Khas Yogyakarta Manis dan Legit

    Bahan gudeg nangka

    1,5 kg nangka muda, potong ukuran 3 cm x 5 cm
    250 gram daging tetelan
    1 liter santan dari 2 butir kelapa
    4 lembar daun salam
    1 iris lengkuas
    1 sdm angkak
    100 gram gula merah

    Bumbu gudeg (haluskan)

    3 sdm bawang merah iris 

    2 sdm bawang putih iris 

    10 buah kemiri 

    1 sdm ketumbar 

    1 sdt garam

    Cara membuat gudeg nangka khas Yogyakarta

    1. Siram nangka dengan air mendidih supaya getahnya terlepas, kemudian tiriskan. 
    2. Masukkan nangka ke dalam panci presto beserta daging, bumbu, dan santan. Tutup presto dan kunci. Masak dalam panci presto selama 45 menit. Angkat. 
    3. Buka katup pengatur suhunya, biarkan uap keluar semua. Setelah itu buka panci dan angkat. 
    4. Hidangkan nangka khas Yogyakarta selagi hangat bersama nasi merah atau putih.
  • Kuliner khas jawa timur Rujak Cingur

    Kuliner khas jawa timur Rujak Cingur

    Rujak cingur merupakan salah satu makanan tradisional dari Jawa Timur, terutama di daerah asalnya Surabaya. Menurut pegiat sejarah Kota Surabaya, keberadaan rujak cingur di Kota Surabaya berawal dari tahun 1930-an yang dibawa oleh pendatang dari Pulau Madura untuk bertahan hidup dengan berdagang kuliner yakni rujak cingur Awalnya pedagang dari Madura menggunakan Petis ikan cakalang khas Madura, namun untuk menyesuaikan dengan lidah masyarakat Kota Surabaya yang mayoritas bersuku Jawa maka juga menggunakan petis udang.

    Dalam bahasa Jawa , kata cingur berarti ‘mulut’ atau cingur dalam Bahasa Madura, hal ini merujuk pada bahan irisan hidung atau moncong sapi yang direbus dan dicampurkan ke dalam hidangan. Rujak cingur biasanya terdiri dari irisan beberapa jenis buah seperti timun, kerahi (krai, yaitu sejenis timun khas Jawa Timur atau blungko dalam Bahasa Madura), bengkuang, mangga muda, nanas, kedondong, kemudian ditambah lontong, tahu, tempe, bedhaya, cingur, serta sayuran seperti kecambah/tauge, kangkung, dan kacang panjang. Semua bahan tadi dicampur dengan saus atau bumbu yang terbuat dari olahan petis, air matang untuk sedikit mengencerkan, gula/gula merah, cabai, kacang tanah yang digoreng, bawang goreng, garam, dan irisan tipis pisang biji hijau yang masih muda (pisang klutuk). Semua saus/bumbu dicampur dengan cara diulek, kemudian diberi potongan cingur. Jika tanpa cingur maka rujak ini disebut “rujak uleg” atau “rujak” saja.

    Dalam penyajiannya, rujak cingur dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyajian “biasa” dan matengan “matangan” . Penyajian “biasa” atau umumnya, berupa semua bahan yang telah disebutkan di atas, sedangkan matengan hanya terdiri dari bahan-bahan matang saja: lontong, tahu goreng, tempe goreng, bedhaya (kerahi yang direbus hingga lunak dan matang) dan sayur (kangkung, kacang panjang, tauge) yang telah direbus atau dikukus. Tanpa ada bahan mentahnya yaitu buah-buahan, karena pada dasarnya ada orang yang tidak menyukai buah-buahan. Keduanya memakai saus atau bumbu yang sama.

    Makanan ini disebut rujak cingur karena bumbu olahan yang digunakan adalah petis udang dan irisan cingur. Hal ini yang membedakan dengan makanan rujak pada umumnya yang biasanya tanpa menggunakan bahan cingur atau bibir sapi tersebut. Rujak cingur biasa disajikan dengan tambahan kerupuk udang dan dengan alas pincuk (daun pisang) atau piring.

    Dalam penyajian tradisional rujak ini sering juga ditambahkan isian berupa didih (darah yang digoreng). Darah beku ini biasanya diambil dari darah ayam yang dibekukan hingga menggumpal seperti organ hati yang kemudian digoreng. Namun, seiring dengan perkembangan pemahaman ajaran Islam di kalangan masyarakat Jawa didih ini tidak dikonsumsi lagi, meski pada beberapa pedangan rujak cingur masih menyediakannya sebagai pilihan isi.

    Bagi masyarakat Jawa Timur terkhusus Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Malang dan sekitarnya jika banyak menyebutkan kata “rujak” maka yang mereka maksud pada umumnya adalah rujak dengan bumbu petis, sedangkan jika di luar wilayah tersebut kata “rujak” pasti yang dimaksud adalah rujak buah. Oleh karena itu, masyarakat Jawa Timur pada wilayah yang disebutkan tersebut untuk menyebut rujak yang terdiri dari buah-buahan pasti menyebutkannya sebagai “rujak buah” bukan cuma “rujak”.

    Resep Rujak Cingur Khas Surabaya

    Berikut cara membuat rujak cingur khas Surabaya yang mudah dibuat:

    Waktu pembuatan: 60 menit.

    Bahan-bahan: 

    • 150 gram cingur sapi. 
    • 1 ikat kangkung, pesiangi daunnya kemudian rebus dan tiriskan. 
    • 100 gram taoge, siangi ekornya, kemudian rebus dan tiriskan.
    • 1 buah mentimun, potong 1 sentimeter.
    • 1 buah mentimun krai, kukus hingga lunak. 
    • 2 kotak tempe goreng, potong. 
    • 2 kotak tahu putih goreng, potong. 
    • 1 buah lontong, potong. 

    Bumbu kacang: 

    • 50 gram kacang tanah, goreng. 
    • 2 siung bawang putih, goreng sampai layu. 
    • 3 buah cabai rawit merah. 
    • 1 sdm gula merah. 
    • 1/2 sdt terasi goreng. 
    • 1/2 sdt garam. 
    • 2 sdm petis udang. 
    • 3 sdm air asam. 
    • Air matang secukupnya

    Cara membuatnya:

    • Pertama-tama, rebus cingur sapi bersama garam, 1 siung bawang putih, dan ketumbar yang dihaluskan. Masak hingga moncong sapi tersebut menjadi lunak, lalu angkat dan tiriskan.
    • Selanjutnya, buat bumbu kacang. Pertama, haluskan kacang, bawang putih, cabai rawit, gula merah, terasi, dan garam. Kemudian, tambahkan petis dan air asam, aduk rata. Lalu tambahkan air secukupnya untuk mengencerkan bumbu kacang.
    • Setelah itu, tata rujak cingur untuk penyajian. Siapkan piring saji, letakkan kangkung, taoge, potongan mentimun krai, mentimun, cingur yang telah dipotong, tempe, tahu dan lontong. Siram dengan bumbu kacang. Sajikan dengan kerupuk putih.

    Manfaat Rujak Cingur untuk Kesehatan

    Karena menggunakan berbagai bahan makanan yang sehat, sajian ini bisa memberikan banyak nutrisi yang bermanfaat untuk kesehatan tubuh.

    Dalam 100 gram makanan tradisional tersebut, bisa memberikan asupan berikut:

    • Energi: 153 kilo kalori.
    • Protein: 11,3 gram.
    • Karbohidrat: 8 gram.
    • Lemak: 8,4 gram.
    • Kalsium: 256 miligram.
    • Fosfor: 143 miligram.
    • Zat besi: 4,4 miligram.
    • Vitamin A: 61 IU, B1: 0,16 miligram, C: 1,6 miligram.

    Berkat kandungan nutrisi tersebut, ada banyak manfaat rujak cingur untuk kesehatan tubuh. Mulai dari mencegah hipertensi, menurunkan kadar kolesterol, memperkuat tulang, hingga menghitamkan rambut.

    Meskipun bahan-bahan dalam rujak tergolong sehat, tapi saus bumbu kacang yang menjadi pelengkap bisa membuatnya menjadi tidak sehat. Pasalnya, bumbu ini mengandung banyak kalori.

    Untuk setiap 16 gram bumbu kacang mengandung 41 kalori. Selain itu, saus ini juga mencakup 2,6 gram lemak, 1 gram protein dan 3,5 gram karbohidrat.

    Terakhir, bumbu kacang juga mengandung 2,7 gram gula dan 0,3 serat makanan, sisanya adalah karbohidrat kompleks. Jadi, bila ingin mengkonsumsinya, sebaiknya batasi penggunaan bumbu kacang. 

    Selain itu, kacang tanah yang digunakan perlu digoreng terlebih dahulu sebelum diolah menjadi bumbu. Nah, metode menggoreng dengan minyak goreng ini bisa menambah kolesterol.

    Agar lebih sehat, kamu bisa menggunakan minyak sayur yang baru dan berkualitas

  • Roti buaya Yang kaya akan sejarah

    Roti buaya Yang kaya akan sejarah

    Roti buaya adalah hidangan Betawi berupa roti manis berbentuk buaya.  senantiasa hadir dalam upacara pernikahan dan kenduri tradisional Betawi

    Sejarah

    sejarah roti buaya bermula ketika bangsa Eropa datang ke Batavia. Dahulu, orang Eropa mengungkapkan tanda cinta mereka dengan memberikan bunga kepada pasangan mereka. Melihat hal tersebut, masyarakat suku Betawi berpikir untuk memberikan sesuatu sebagai simbol ungkapan perasaan cinta kepada pasangan mereka. Pada saat itu, Batavia memiliki 13 sungai yang menyebar luas yang masing-masing sungai tersebut terdapat buaya. Masyarakat suku Betawi juga mengetahui bagaimana pola hidup buaya yang hanya kawin sekali seumur hidupnya dan tidak kawin dengan buaya lain, meskipun pasangannya sudah mati atau menghilang. Oleh sebab itu, masyarakat suku Betawi pun memutuskan untuk membuat roti yang berbentuk seperti buaya sebagai ungkapan perasaan kepada pasangan mereka, seperti orang Eropa yang mengungkapkan perasaan mereka dengan memberi bunga kepada pasangan mereka

     

    Makna

     

    Suku Betawi percaya bahwa buaya hanya kawin sekali dengan pasangannya, maka roti ini dipercaya melambangkan kesetiaan dalam perkawinan. Pada saat pernikahan, roti diletakkan di sisi mempelai perempuan dan para tamu kondisi roti ini melambangkan karakter dan sifat mempelai laki-laki. Buaya secara tradisional dianggap bersifat sabar (dalam menunggu mangsa). Selain kesetiaan, buaya juga melambangkan kemapanan.Akan tetapi, kini dalam simbolisme budaya modern, makna buaya berubah menjadi hal yang buruk, misalnya buaya judi, buaya minum (pemabuk) dan buaya darat (orang yang mata keranjang)

     

    Fakta Unik Roti Buaya

     

    Ada fakta unik seputar  Banyak orang yang menyantap  ketika hadir di acara pernikahan orang Betawi atau di acara spesial lainnya. Namun, apa kalian tahu kalau dulu roti ini dalam adat pernikahan Betawi hanya dijadikan sebagai simbol saja dan bukan untuk dikonsumsi.

    Awalnya  dibuat dengan tekstur yang keras dan sengaja dibiarkan hingga membusuk. Itu karena dahulu  yang panjangnya mencapai 50 cm itu hanya dijadikan sebatas simbol dan pajangan semata saja. Ketika acara pernikahan selesai,  tidak dimakan melainkan akan disimpan di atas lemari dan didiamkan hingga membusuk. Hal ini digambarkan sebagai pasangan suami istri yang tetap bersama meskipun waktu terus berjalan.

    Namun kini  disajikan dengan adonan roti yang segar dan lembut sehingga dapat dikonsumsi. Bahkan  pun dibagikan kepada kerabat yang belum menikah dengan harapan dapat segera menyusul untuk menikah. Dulu juga  hanya terbuat dari adonan roti biasa tanpa isi apapun. Namun, saat ini  sudah memiliki berbagai varian isi, seperti coklat, vanila, maupun stroberi.

     

    Perubahan Bentuk dan Simbol Roti Buaya dalam Pernikahan Betawi

     

     merupakan salah satu kudapan khas Betawi ikonik dengan lambang penuh makna berupa kesetiaan. Namun siapa sangka, roti hantaran pernikahan Betawi ini memiliki perkembangan yang cukup dinamis. Jauh sebelum berbentuk roti buaya, simbol roti buaya dalam pernikahan adat Betawi yaitu berupa pohon kelapa atau kayu yang dianyam berbentuk buaya.

    Dalam adat Betawi,  digunakan sebagai hantaran pernikahan oleh pengantin laki-laki untuk kepada pengantin wanita.  ini sengaja dibuat sepasang, dengan buaya betina berbentuk lebih kecil daripada buaya jantan.

     menempati posisi terpenting, bahkan bisa dibilang hukumnya wajib. Sebab, roti ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup semati.

    Tak hanya itu, dengan membawa  ini sekaligus menunjukan sikap optimis terhadap doa dan harapan bagi si calon pengantin lelaki yang akan menjadi suami dapat menerapkan sisi positif pada binatang buaya tersebut.

    Adapun buaya adalah hewan panjang umur dan paling setia kepada pasangannya. Itu artinya, buaya hanya kawin sekali seumur hidup. Itulah kenapa orang Betawi menjadikannya sebagai lambang kesetiaan dalam rumah tangga.

    Selain itu buaya termasuk hewan perkasa dan hidup di dua alam. Ini juga bisa dijadikan lambang dari harapan agar rumah tangga menjadi tangguh dan mampu bertahan hidup di mana saja.

    Dalam sejarah dan perkembangannya, penyimbolan pada  yang diberikan oleh masyarakat Betawi mengalami perubahan bentuk. Dinamika perubahannya tampak jelas tepatnya sekitar abad ke-17 hingga akhir abad ke 18 di mana masyarakat Betawi menggunakan pohon kelapa atau kayu.

    Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra menyatakan orang Betawi tempo dulu mengukir kayu atau pohon kelapa tersebut menjadi buaya dan digunakan sebagai simbol hantaran pernikahan Betawi.

    “Jaman dulu itu kalau tidak dianyam itu dibikin dari katu, diukir berbentuk buaya sepasang laki-perempuan,” kata budayawan Betawi Yahya Andi Saputra.

    Beralih ke Roti Buaya

     

    Demikian tradisi ini berjalan hingga seiring masa kolonial Belanda, sekitar awal abad ke 19 dan 20 mulai bertumbuhlah perusahaan-perusahaan roti. Saat ini pula, munculah . Sepasang simbol ini melambangkan keberlangsungan hidup dan simbol dari menjaga mata air. “Itu bermula dari ide bagaimana caranya lebih praktis, estetik dengan bentuk roti. Bukan lagi kayu,” ujar dia.

    Menariknya, awalnya sama sekali tak memiliki cita rasa tertentu alias tawar. Yahya menyebut, ini juga tak untuk dimakan, tapi hanya dipajang di depan atau di atas lemari hingga habis dimakan oleh binatang. Tujuan dari pemajangan  ini yakni sebagai pemberitahuan bahwa salah satu anggota keluarga baru saja melaksanakan pernikahan.

    Kondisi ini berlangsung pada pertengahan abad ke-20 sebelum akhirnya pada akhir abad ke 20 muncul kelompok-kelompok yang merasa bahwa keberadaan awal  hanya mubazir. Alhasil, muncullah inovasi yang diberi cita rasa manis. Ini bertujuan agar  dapat dikonsumsi dan dibagi-bagikan pada keluarga dan sanak saudara.

     hari-hari ini sudah mengikuti arus perkembangan zaman yang semakin modern. Jika tempo dahulu hanya tawar, kini sudah memiliki beragam rasa dan warna dan relatif lebih menarik. Demikian jika dahulu hanya sebagai pajangan, tapi sekarang kerap kali dibagi-bagikan terutama pada yang masih single.

    Filosofi Roti Buaya

     

    Roti buaya konon terinspirasi dari tingkah buaya yang hanya kawin sekali selama hidup mereka, roti tersebut dipercaya mewakili kesetiaan para pasangan yang akan menikah.

     

    Buaya juga merupakan hewan perkasa yang dapat hidup di dua dunia. Artinya simbol buaya digunakan sebagai harapan agar rumah tangga menjadi tangguh dan dapat bertahan hidup dimanapun mereka tinggal.

     

    Roti berbentuk buaya juga memiliki makna sebagai lambang kehandalan, karena dianggap roti merupakan makanan golongan atas.

     

    Tak heran jika roti berbentuk buaya memiliki posisi penting dalam masyarakat Betawi karena bertujuan agar pasangan suami istri saling berbakti, memiliki masa depan yang lebih baik, dan dapat hidup sejahtera serta mapan samapi akhir hayat.

    Oleh karena itu, setiap prosesi acara pernikahan Betawi, mempelai pria selalu membawa sepasang roti berbentuk buaya berukuran besar, dan  berukuran kecil yang diletakkan di atas roti yang disimbolkan sebagai Buaya Wanita.

    Dulunya roti berbentuk buaya dibuat dengan tekstur keras. Hal ini menandakan harapan agar pernikahan kedua mempelai bisa langgeng sampai maut menjemput.

    Seiring perkembangan zaman orang-orang lebih menyukai  yang bertekstur lembut.

    Karena itu tak heran, jika sekarang kita lebih menikmati roti berbentuk buaya lembut dan lebih nyaman dimakan.

    Roti buaya sekarang juga dibuat seindah mungkin dengan berbagai variasi rasa yang membuat siapapun ingin mencicipinya.

    Saat ini, seiring dengan perkembangan zaman roti berbentuk ini semakin banyak dibuat dari adonan roti yang manis dan juga mengandung coklat, keju atau strawberry.

    Selain itu, sekarang dapat langsung dikonsumsi oleh keluarga mempelai wanita.

    Membuat roti berbentuk buaya tidaklah sulit, karena bahan dasarnya sangat sederhana: tepung terigu, gula pasir, margarin, garam, ragi, susu bubuk, telur, dan pewarna.

    Keseluruhan bahan diaduk dan diaduk sampai rata, kemudian dibentuk seperti buaya dan dipanggang sampai matang.

     

    Mitos 

     

    ternyata dalam mengantarkan  sebagai makanan seserahan, ada hal yang harus diperhatikan. Roti berbentuk buaya harus diantar dengan hati-hati dalam keadaan mulus dan baik.

    Artinya tidak boleh ada cacat sedikitpun sampai diterima oleh pihak mempelai wanita.

    Masyarakat Betawi pun percaya semakin besar ukuran buaya, maka semakin baik maknanya.

    Ukuran roti berbentuk buaya mempengaruhi masa depan rumah tangga sang pengganti.

    Selain itu, ada juga kepercayaan bahwa seseorang yang belum menikah lalu memakan roti berbentuk buaya, maka akan cepat bertemu jodoh dan segera menikah.

    Maka dari itu tak heran jika tamu atau keluarga yang belum menikah selalu berebut memakan.

    Umumnya roti berbentuk buaya yang dijadikan seserahan jumlahnya sepasang dan dilengkapi dengan telur serta anak buaya.

    Hal ini karena masyarakat Betawi berharap kelah sang pengantin ini cepat diberi momongan.

     

    Fakta Lain 

     

    Saat ini  sudah disajikan dengan adonan yang segar dan bisa dimakan.

    Ternyata dahulu roti berbentuk buaya disajikan sudah dalam keadaan busuk dan bertekstur sangat keras.

    Hal ini karena  hanyalah sebagai simbol semata pada upacara Betawi.

    Roti berbentuk buaya yang busuk ini mengandung makna bahwa pasangan yang baru menikah akan langgeng seumur hidup bahkan sampai mau memisahkan mereka.

    Selain itu, dahulu selesai acara roti berbentuk buaya langsung disimpan di lemari pasangan yang menikah agar tahan lama dan awet.

    Sampai saat ini tradisi seserahan memberikan masih dilestarikan oleh masyarakat Betawi