Roti buaya Yang kaya akan sejarah

Roti buaya Yang kaya akan sejarah

Roti buaya adalah hidangan Betawi berupa roti manis berbentuk buaya.  senantiasa hadir dalam upacara pernikahan dan kenduri tradisional Betawi

Sejarah

sejarah roti buaya bermula ketika bangsa Eropa datang ke Batavia. Dahulu, orang Eropa mengungkapkan tanda cinta mereka dengan memberikan bunga kepada pasangan mereka. Melihat hal tersebut, masyarakat suku Betawi berpikir untuk memberikan sesuatu sebagai simbol ungkapan perasaan cinta kepada pasangan mereka. Pada saat itu, Batavia memiliki 13 sungai yang menyebar luas yang masing-masing sungai tersebut terdapat buaya. Masyarakat suku Betawi juga mengetahui bagaimana pola hidup buaya yang hanya kawin sekali seumur hidupnya dan tidak kawin dengan buaya lain, meskipun pasangannya sudah mati atau menghilang. Oleh sebab itu, masyarakat suku Betawi pun memutuskan untuk membuat roti yang berbentuk seperti buaya sebagai ungkapan perasaan kepada pasangan mereka, seperti orang Eropa yang mengungkapkan perasaan mereka dengan memberi bunga kepada pasangan mereka

 

Makna

 

Suku Betawi percaya bahwa buaya hanya kawin sekali dengan pasangannya, maka roti ini dipercaya melambangkan kesetiaan dalam perkawinan. Pada saat pernikahan, roti diletakkan di sisi mempelai perempuan dan para tamu kondisi roti ini melambangkan karakter dan sifat mempelai laki-laki. Buaya secara tradisional dianggap bersifat sabar (dalam menunggu mangsa). Selain kesetiaan, buaya juga melambangkan kemapanan.Akan tetapi, kini dalam simbolisme budaya modern, makna buaya berubah menjadi hal yang buruk, misalnya buaya judi, buaya minum (pemabuk) dan buaya darat (orang yang mata keranjang)

 

Fakta Unik Roti Buaya

 

Ada fakta unik seputar  Banyak orang yang menyantap  ketika hadir di acara pernikahan orang Betawi atau di acara spesial lainnya. Namun, apa kalian tahu kalau dulu roti ini dalam adat pernikahan Betawi hanya dijadikan sebagai simbol saja dan bukan untuk dikonsumsi.

Awalnya  dibuat dengan tekstur yang keras dan sengaja dibiarkan hingga membusuk. Itu karena dahulu  yang panjangnya mencapai 50 cm itu hanya dijadikan sebatas simbol dan pajangan semata saja. Ketika acara pernikahan selesai,  tidak dimakan melainkan akan disimpan di atas lemari dan didiamkan hingga membusuk. Hal ini digambarkan sebagai pasangan suami istri yang tetap bersama meskipun waktu terus berjalan.

Namun kini  disajikan dengan adonan roti yang segar dan lembut sehingga dapat dikonsumsi. Bahkan  pun dibagikan kepada kerabat yang belum menikah dengan harapan dapat segera menyusul untuk menikah. Dulu juga  hanya terbuat dari adonan roti biasa tanpa isi apapun. Namun, saat ini  sudah memiliki berbagai varian isi, seperti coklat, vanila, maupun stroberi.

 

Perubahan Bentuk dan Simbol Roti Buaya dalam Pernikahan Betawi

 

 merupakan salah satu kudapan khas Betawi ikonik dengan lambang penuh makna berupa kesetiaan. Namun siapa sangka, roti hantaran pernikahan Betawi ini memiliki perkembangan yang cukup dinamis. Jauh sebelum berbentuk roti buaya, simbol roti buaya dalam pernikahan adat Betawi yaitu berupa pohon kelapa atau kayu yang dianyam berbentuk buaya.

Dalam adat Betawi,  digunakan sebagai hantaran pernikahan oleh pengantin laki-laki untuk kepada pengantin wanita.  ini sengaja dibuat sepasang, dengan buaya betina berbentuk lebih kecil daripada buaya jantan.

 menempati posisi terpenting, bahkan bisa dibilang hukumnya wajib. Sebab, roti ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup semati.

Tak hanya itu, dengan membawa  ini sekaligus menunjukan sikap optimis terhadap doa dan harapan bagi si calon pengantin lelaki yang akan menjadi suami dapat menerapkan sisi positif pada binatang buaya tersebut.

Adapun buaya adalah hewan panjang umur dan paling setia kepada pasangannya. Itu artinya, buaya hanya kawin sekali seumur hidup. Itulah kenapa orang Betawi menjadikannya sebagai lambang kesetiaan dalam rumah tangga.

Selain itu buaya termasuk hewan perkasa dan hidup di dua alam. Ini juga bisa dijadikan lambang dari harapan agar rumah tangga menjadi tangguh dan mampu bertahan hidup di mana saja.

Dalam sejarah dan perkembangannya, penyimbolan pada  yang diberikan oleh masyarakat Betawi mengalami perubahan bentuk. Dinamika perubahannya tampak jelas tepatnya sekitar abad ke-17 hingga akhir abad ke 18 di mana masyarakat Betawi menggunakan pohon kelapa atau kayu.

Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra menyatakan orang Betawi tempo dulu mengukir kayu atau pohon kelapa tersebut menjadi buaya dan digunakan sebagai simbol hantaran pernikahan Betawi.

“Jaman dulu itu kalau tidak dianyam itu dibikin dari katu, diukir berbentuk buaya sepasang laki-perempuan,” kata budayawan Betawi Yahya Andi Saputra.

Beralih ke Roti Buaya

 

Demikian tradisi ini berjalan hingga seiring masa kolonial Belanda, sekitar awal abad ke 19 dan 20 mulai bertumbuhlah perusahaan-perusahaan roti. Saat ini pula, munculah . Sepasang simbol ini melambangkan keberlangsungan hidup dan simbol dari menjaga mata air. “Itu bermula dari ide bagaimana caranya lebih praktis, estetik dengan bentuk roti. Bukan lagi kayu,” ujar dia.

Menariknya, awalnya sama sekali tak memiliki cita rasa tertentu alias tawar. Yahya menyebut, ini juga tak untuk dimakan, tapi hanya dipajang di depan atau di atas lemari hingga habis dimakan oleh binatang. Tujuan dari pemajangan  ini yakni sebagai pemberitahuan bahwa salah satu anggota keluarga baru saja melaksanakan pernikahan.

Kondisi ini berlangsung pada pertengahan abad ke-20 sebelum akhirnya pada akhir abad ke 20 muncul kelompok-kelompok yang merasa bahwa keberadaan awal  hanya mubazir. Alhasil, muncullah inovasi yang diberi cita rasa manis. Ini bertujuan agar  dapat dikonsumsi dan dibagi-bagikan pada keluarga dan sanak saudara.

 hari-hari ini sudah mengikuti arus perkembangan zaman yang semakin modern. Jika tempo dahulu hanya tawar, kini sudah memiliki beragam rasa dan warna dan relatif lebih menarik. Demikian jika dahulu hanya sebagai pajangan, tapi sekarang kerap kali dibagi-bagikan terutama pada yang masih single.

Filosofi Roti Buaya

 

Roti buaya konon terinspirasi dari tingkah buaya yang hanya kawin sekali selama hidup mereka, roti tersebut dipercaya mewakili kesetiaan para pasangan yang akan menikah.

 

Buaya juga merupakan hewan perkasa yang dapat hidup di dua dunia. Artinya simbol buaya digunakan sebagai harapan agar rumah tangga menjadi tangguh dan dapat bertahan hidup dimanapun mereka tinggal.

 

Roti berbentuk buaya juga memiliki makna sebagai lambang kehandalan, karena dianggap roti merupakan makanan golongan atas.

 

Tak heran jika roti berbentuk buaya memiliki posisi penting dalam masyarakat Betawi karena bertujuan agar pasangan suami istri saling berbakti, memiliki masa depan yang lebih baik, dan dapat hidup sejahtera serta mapan samapi akhir hayat.

Oleh karena itu, setiap prosesi acara pernikahan Betawi, mempelai pria selalu membawa sepasang roti berbentuk buaya berukuran besar, dan  berukuran kecil yang diletakkan di atas roti yang disimbolkan sebagai Buaya Wanita.

Dulunya roti berbentuk buaya dibuat dengan tekstur keras. Hal ini menandakan harapan agar pernikahan kedua mempelai bisa langgeng sampai maut menjemput.

Seiring perkembangan zaman orang-orang lebih menyukai  yang bertekstur lembut.

Karena itu tak heran, jika sekarang kita lebih menikmati roti berbentuk buaya lembut dan lebih nyaman dimakan.

Roti buaya sekarang juga dibuat seindah mungkin dengan berbagai variasi rasa yang membuat siapapun ingin mencicipinya.

Saat ini, seiring dengan perkembangan zaman roti berbentuk ini semakin banyak dibuat dari adonan roti yang manis dan juga mengandung coklat, keju atau strawberry.

Selain itu, sekarang dapat langsung dikonsumsi oleh keluarga mempelai wanita.

Membuat roti berbentuk buaya tidaklah sulit, karena bahan dasarnya sangat sederhana: tepung terigu, gula pasir, margarin, garam, ragi, susu bubuk, telur, dan pewarna.

Keseluruhan bahan diaduk dan diaduk sampai rata, kemudian dibentuk seperti buaya dan dipanggang sampai matang.

 

Mitos 

 

ternyata dalam mengantarkan  sebagai makanan seserahan, ada hal yang harus diperhatikan. Roti berbentuk buaya harus diantar dengan hati-hati dalam keadaan mulus dan baik.

Artinya tidak boleh ada cacat sedikitpun sampai diterima oleh pihak mempelai wanita.

Masyarakat Betawi pun percaya semakin besar ukuran buaya, maka semakin baik maknanya.

Ukuran roti berbentuk buaya mempengaruhi masa depan rumah tangga sang pengganti.

Selain itu, ada juga kepercayaan bahwa seseorang yang belum menikah lalu memakan roti berbentuk buaya, maka akan cepat bertemu jodoh dan segera menikah.

Maka dari itu tak heran jika tamu atau keluarga yang belum menikah selalu berebut memakan.

Umumnya roti berbentuk buaya yang dijadikan seserahan jumlahnya sepasang dan dilengkapi dengan telur serta anak buaya.

Hal ini karena masyarakat Betawi berharap kelah sang pengantin ini cepat diberi momongan.

 

Fakta Lain 

 

Saat ini  sudah disajikan dengan adonan yang segar dan bisa dimakan.

Ternyata dahulu roti berbentuk buaya disajikan sudah dalam keadaan busuk dan bertekstur sangat keras.

Hal ini karena  hanyalah sebagai simbol semata pada upacara Betawi.

Roti berbentuk buaya yang busuk ini mengandung makna bahwa pasangan yang baru menikah akan langgeng seumur hidup bahkan sampai mau memisahkan mereka.

Selain itu, dahulu selesai acara roti berbentuk buaya langsung disimpan di lemari pasangan yang menikah agar tahan lama dan awet.

Sampai saat ini tradisi seserahan memberikan masih dilestarikan oleh masyarakat Betawi

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *